Oleh Gede H. Cahyana
Dulu, waktu masih di sekolah menengah di Bali, aku sering bertanya-tanya dan terheran-heran kenapa orang-orang berduyun-duyun pergi ke Mekkah. Kudengar ada yang naik kapal selama berbulan-bulan berlayar menuju Arab Saudi. Berbulan-bulan pula waktunya untuk kembali ke Indonesia. Mereka rela meninggalkan sanak famili dan keluarganya dalam tempo lama dan banyak yang pulang hanya namanya saja. Ada yang meninggal di Mekkah, di Madinah, di dalam kapal atau dalam perantauan di negeri seberang. Bahkan kalau tak salah, pada tahun 1978 ada pesawat jamaah haji meledak di Colombo, Srilangka yang menewaskan semua penumpangnya. Pernah pula terjadi tragedi terowongan Mina dan ribuan insiden desak-injak ketika jumrah. Jika semua tragedi tersebut dicermati bisa dikatakan haji adalah ibadah berisiko tinggi yang sarat peminat. Kurang lebih 2,4 juta orang bakal menjadi tamu Allah tahun 1426 H ini. Itu pun lantaran diberlakukan kuota yang direlasikan dengan jumlah penduduk. Andai tanpa kuota bisa dipastikan jumlahnya jauh lebih banyak lagi dan otomatis kian merepotkan pemerintah Saudi dalam melayaninya.
Membaca sejumlah tragedi dan insiden tersebut membuatku makin "pusing" dan tak habis pikir. Betul-betul tak masuk akal bagiku, paling tidak sampai aku tamat SMA. Apa sebetulnya yang mereka cari? Datang dari jauh berkorban daya, dana, tenaga, raga, dan bahkan jiwa hanya untuk mengelilingi Ka'bah dan diam duduk-duduk di tengah terik mentari padang Arafah. Sungguh aneh bagiku, bagi remaja tahun 1980-an. Apalagi ada dogma yang bagiku tak masuk akal dan sering tak sejajar dengan prinsip beragama. Betulkah orang yang berhasil berangkat ibadah haji akan mampu "naik" ke surga? Barangkali inilah sebabnya ibadah haji pada masa Orde Baru disebut "naik haji" dengan harapan setelah mendapat "titel" haji mereka berhak "naik" ke surga. Apa betul surga bisa "dibeli" dengan naik haji? Bagaimana kalau ongkos pergi haji itu berasal dari uang KKN? Pertanyaan yang satu ini bahkan mengejarku sampai sekarang karena tak jua terjawab. Berbagai-bagai ulama pernah kutanyai dan rata-rata jawabannya stereotipe, standar normatif, nyaris tanpa argumen baru.
Betulkah surga bisa dibeli dengan "naik" haji? Aku bimbang. Aku ragu. Suatu kali aku mendengar kisah tentang orang yang gagal naik haji padahal uang dan bekalnya telah cukup. Bertahun-tahun sedikit demi sedikit laba hasil jualannya di pasar dikumpulkan sehingga cukup untuk ongkos berangkat haji. Ketika hendak berhaji (sayang sekali atau mungkin juga untung sekali) tetangganya jatuh sakit. Sakit parah yang perlu biaya banyak tapi tak punya uang cukup untuk berobat. Melihat hal itu, orang yang hendak ibadah haji tadi memberikan uangnya untuk pengobatan. Nyaris habis uang ongkos pergi hajinya itu untuk berobat dan operasi. Lantaran tak punya lagi uang, gagallah dia pergi haji. Sedihnya lagi, tetangga yang ditolongnya itu tiga bulan kemudian berpulang ke rahmatullah lantaran komplikasi penyakitnya.
Bayangkan, dia kumpulkan uang sepeser demi sepeser selama bertahun-tahun untuk ibadah haji dan telah pula memberitahu tetangga dan keluarganya bahwa dia akan berangkat ke Mekkah, tapi batal lantaran ada tetangganya yang sakit keras dan butuh biaya besar untuk operasi. Meskipun berhasil dioperasi namun Allah ternyata berketentuan lain. Dia mewafatkannya setelah jutaan rupiah uang dikeluarkan. Siapa yang tak sedih? Terlebih lagi bisa diduga, tahun depan pun belum tentu dia bisa berangkat haji karena harus mengumpulkan sen demi sen lagi hasil dagangannya di pasar. Tahun itu dia gagal ibadah haji yang telah puluhan tahun diharap-harapnya. Kalau demikian, jika dibandingkan, siapa yang berhasil ibadah haji, apakah orang yang "sukses" menginjak tanah Arafah ataukah orang yang menolong berobat tetangganya tapi gagal berangkat?
Menurut riwayat, orang yang gagal ibadah haji itu secara de jure justru mendapatkan predikat haji. Dia telah menerapkan spirit dan pola hidup orang yang berhaji walaupun de facto dia tak ke Mekkah. Apalagi tujuannya pergi haji bukanlah untuk mendapatkan titel haji melainkan semata-mata demi ibadah, melaksanakan kewajibannya sebagai muslim setelah rutin menunaikan rukun Islam lainnya. Dia dulu telah syahadat dan rutin pula syahadat ketika shalat. Dia telah shaum Ramadhan sebagai kendali penyaluran uang laba dagangnya setelah dibayarkan zakatnya. Tak hanya zakat yang dia tunaikan, sedekah dan sumbangan sosial pun dia tebarkan. Tiadalah pengemis yang menyambangi rumahnya kecuali ada sejumput dua jumput makanan yang dibagikannya. Itulah karakternya yang bermetamorfosis dari uang laba dagangnya, uang halal yang sen demi sen dikumpulkannya.
Pada kali lain, aku juga melihat orang yang berhaji dan bahkan berkali-kali ibadah haji tapi menjadi penyakit masyarakat. Dia bertitel haji tapi perilakunya tak paralel dengan spirit hajinya, bertentangan secara diametral. Dia seperti orang nonmuslim yang tidak shalat dan tidak zakat. Hanya puasa Ramadhan yang dia lakukan tapi itu pun tak tahu pasti apakah dia betul-betul saum atau sekadar pura-pura saum. Boleh jadi diam-diam dia makan minum di kesepian tanpa ada yang tahu. Pernah juga aku dengar orang yang sering berhaji tapi senang menjadi rentenir. Senang bergunjing dan menjelek-jelekkan saudaranya, tetangganya. Kerapkali pula kudengar lontaran kalimat dari seorang ustadz bahwa banyak orang sepulang haji menjadi haji tomat. Tobat sebentar, paling lama 40 hari, lalu kumat lagi. Kudengar banyak orang berhaji agar bisa mendapatkan proyek dan jabatan "basah" di kantornya atau agar dirinya kembali menjadi selebriti terkenal setelah redup dikalahkan pendatang baru dan kembali berpenampilan "panas", melupakan baju ihramnya selama berhaji.
Haji-hajjah demikian, yaitu hajinya orang-orang yang berbuat maksiat dan tidak melaksanakan rukun Islam lainnya terutama shalat dan saum Ramadhan akankah mampu membuka pintu surga lalu masuk ke dalamnya? Karena penasaran, kubuka-buka al Qur'an dan kubaca ayat 41 surat al-Hajj yang terjemahnya kurang lebih seperti ini. Bahwa seharusnya orang-orang yang sudah diteguhkan kedudukannya di bumi harus mendirikan (bukan melaksanakan) shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah perbuatan mungkar. Jadi, paradoks sekali apabila orang berhaji tapi tidak shalat dan tidak zakat. Tambah ironis lagi jika mereka justru berbuat mungkar dan mencegah orang berbuat baik atau justru sengaja menjerumuskan orang lain agar berbuat buruk seperti dirinya. Harapannya, jika KKN-nya terbongkar maka dia akan dapat menyeret semua orang ke dalam kasus hukum dengan harapan kasusnya bisa dipetieskan karena takkan tuntas disidik.
Lantas, manakah yang lebih layak naik ke surga, orang yang gagal berhaji lantaran menolong tetangganya ataukah yang berhasil ke Mekkah? Satu pertanyaan lagi, bagaimana kalau uang ongkosnya berasal dari aktivitas haram seperi KKN atau berdagang dengan cara menipu pembeli dan tak jujur dalam menimbang? Apakah orang berhaji yang selalu menuliskan huruf H atau Hj di depan namanya lebih mulia ketimbang orang yang gagal berhaji sehingga tak punya huruf H atau Hj di depan namanya? Apalah arti sebuah huruf? Bagi perendah diri, dia akan bergantung pada label-label dan titel untuk mendongkrak rasa percaya dirinya. Dia aktualkan dirinya di atas gelar dan merasa titel adalah kebutuhan teratasnya. Maka, sangat menarik jika aktualisasi diri itu ditempatkan pada tataran terendah, tahap awal yang mesti diujudkan dalam kehidupan manusia, khususnya kaum muslimin.
Pertanyaannya sekarang, maukah orang berhaji itu tidak memasang label H atau Hj di awal namanya dengan anggapan bahwa ibadah haji tak berbeda secara transenden dengan ibadah shalat dan puasa Ramadhan? Bedanya hanya dari sisi biaya dan makin murah jika jaraknya makin dekat dengan Arab. Taruhlah biayanya 30 juta rupiah. Harga sekian itu setara dengan biaya kuliah plus biaya kos dan makan selama empat tahun untuk meraih gelar sarjana. Adapun gelar haji/hajjah diperoleh dalam waktu singkat, hanya beberapa hari. Kalau di dunia perguruan tinggi ada gelar palsu yang diraih secara instan, jangan-jangan banyak juga yang memperoleh gelar haji/hajjah palsu. Andaikata ibadah itu dilandaskan pada gelar dan bangga menaruh gelar H atau Hj di depan namanya lantaran telah berhaji kenapa tidak meletakkan huruf S karena sudah shalat, huruf Z karena sudah zakat atau huruf P karena telah puasa Ramadhan?
Aku tak tahu. Hanya Allahlah yang Mahatahu.*
Haji
Senin, 09 Agustus 2010
Diposting oleh
KURNIA TRIYULI
di
06.45
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar