Bentuk cluster wanita

Selasa, 20 Juli 2010

Tidak sedikit produk makanan ringan yang dihasilkan pelaku usaha skala kecil menengah (UKM). Besarnya potensi pasar serta mudahnya mendapatkan bahan baku menjadi alasan mereka terjun ke bisnis itu.

Namun hanya mengandalkan rasa saja tentunya tak cukup bagi mereka untuk bisa bersaing di pasar yang cukup ketat. “Kelemahan UKM hanya pada desain kemasan produk, sedang cita rasanya tidak kalah, bahkan dengan makanan luar negeri. Oleh karena itu perlu digali kreativitas secara terus menerus untuk tetap eksis,” papar Liliek Endang Suparni, Ketua Ikatan Wanita Pengusaha (Iwapi) Surabaya.

Di Surabaya, selama ini cukup banyak UKM yang bergerak di sektor makanan ringan dengan beragam jenis dan bahan. Mulai produk berbahan tepung terigu, tepung beras, hingga hasil laut. Memang, sebagian besar masih mengandalkan pasar lokal yakni pembeli di sekitar mereka.
“Namun jika bisa ditingkatkan dari sisi kemasan produk, bukan tidak mungkin mereka bisa semakin memperluas pasar,” jelas Liliek.

Kemasan ini selain ditujukan untuk lebih memberikan manfaat bagi kualitas produk, juga agar lebih menarik minat pembeli. Memang butuh dana tidak sedikit untuk bisa memberikan nilai tambah terhadap kemasan ini, misalnya untuk membeli bahan kemasan atau mesin kemasan. Ironisnya, belum banyak perbankan yang melirik sektor ini.

Karena itu, tahun lalu pihaknya telah membentuk kelompok bersama yang berisikan wanita-wanita yang bergerak di sejumlah sektor usaha atau semacam kluster. Ini dilakukan untuk memudahkan pemetaan mereka, misalnya ketika dilakukan pelatihan, atau dilibatkan dalam setiap pameran.
“Bahkan juga untuk digandengkan dengan koperasi wanita, sehingga mereka bisa terbantu dalam sisi permodalan,” imbuh Liliek.

Tak hanya itu, pihaknya juga bekerja sama dengan instansi terkait, terutama yang menyediakan program bagi pemberdayaan wanita. Misalnya, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan BKKBN.
“Kami berharap tidak hanya menggaet instansi, tetapi dunia perbankan. Dengan tujuan agar mereka memberikan akses permodalan, tentunya dengan bunga kredit rendah tanpa agunan,” katanya.

Sebagai himpunan dari para pengusaha, pihaknya siap dengan SDM yang dapat diandalkan. dio

Kerupuk Terung Semakin Kriuk

Laba mengolah terung, teripang dan lurjuk, sebagai snack kian gurih. Bahan baku melimpah sesuai musim. Siapapun bisa mencoba meski mengolahnya gampang-gampang susah. Tergantung dengan panas matahari.

Mencari snack khas pesisir ini tak terlalu sulit di Surabaya. Di pasar tradisional sampai moderen bisa dijumpai.

Distribusinya memang sudah menjangkau ke seluruh wilayah. Meskipun gudang bahan bakunya di Pantai Kenjeran dan Madura, namun jangkauannya sampai Sidoarjo, Gresik dan Lamongan.
Harganya juga bervariasi, tapi yang jelas tidak terlalu mahal. Ini mengingat kemasan makanan ini ala kadarnya. Proses pembuatannya juga tidak memerlukan perangkat memasak yang canggih.

Bagi Hajah Sateni, era kejayaan bisnis snack hasil laut ini sekitar 10 tahun lalu. Sekarang, pelakunya sudah sangat banyak. Di Kelurahan Sukolilo saja, ada sedikitnya 10-15 orang pelaku usaha.

“Mereka bukan nelayan murni, karena ambil bahan bakunya rata-rata dari nelayan atau pengepul Madura, lalu digoreng sendiri pakai pasir. Setelah digoreng pasir, ada yang langsung menggorengnya dengan minyak goring, kemudian mengemasnya dalam plastik. Tapi ada pula yang hanya goreng pasir sendiri, lalu dikemas oleh orang lain,” jelas Sateni.

Bisnisnya berantai. Bisa menghidupi banyak orang. Tidak ada warga yang melakukan semua fungsi pengolahannya seorang diri. Mulai menjaring hewan di laut sampai dengan pengamasan dan pemasaran.

Nelayan (A) hanya menjaring dan mengumpulkan, tidak melakukan pengemasan. Hasil laut yang masih mentah dipasok ke penduduk (C) yang membuka usaha pengolahan terung, teripang, lurjuk. Tapi sebelum dipasok ke (C), ada kelompok warga (B) yang bertugas khusus membersihkan dan mencuci hasil-hasil laut tersebut.

Dari kelompok penduduk (C) ini proses penjemuran berjalan 1-2 hari untuk kemudian masuk proses penggorengan pasir. Biasanya, setelah dari kelompok (C) masuk ke kelompok (D), yakni warga yang menggoreng hasil gorengan pasir dengan minyak goreng (migor) untuk siap dikemas dalam plastik.

Tapi ada pula yang tidak melalui kelompok (D), karena penduduk di kelompok (C) langsung menggoreng sendiri dengan migor lalu mengemas dan menjual secara eceran di toko-toko dan pasar. “Kalau saya beli langsung dari pengepul atau nelayan, lalu ngupahin orang untuk mencuci dan membersihkan, proses selanjutnya semua saya tangani sendiri,” lanjut wanita 48 tahun ini.

Permintaan kerupuk hasil laut sangat ramai jika mendekati Lebaran. Kalau di hari-hari biasa, cukup dipasarkan di pasar-pasar tradisional dan toko-toko yang ada di Pantai Ria Kenjeran.
Kalau lagi musim, harga jual teripang kemasan Rp 100.000/kg, terung mulai Rp 100.000-150.000/kg dan kerang lurjuk Rp 7.500/kg. Musim terung dan teripang jatuh di Bulan April-Mei, kalau kerang lurjuk dan udang kecil Mei-Agustus. Diluar musim, harga kerang lurjuk bisa Rp 20.000/kg.

Harga terung basah dari nelayan Rp 1.500-2.500/kg, harga teripang basah Rp 2.000/kg. Satu ton terung basah jika dikeringkan hanya bisa menghasilkan 12 kg terung kemasan, jika terik matahari panas bisa menjadi 16 kg.

”Jangkauan pemasarannya di toko-toko dan pasar tradisional. Setiap minggunya saya bisa memasok rata-rata 3-6 kg terung, demikian untuk teripang dan lurjuk. Serapan terbesar di Pasar Genteng dan Pasar Larangan Sidoarjo,” imbuhnya.

Bagi Sri Sudiarti, salah satu konsumen penggemar kerupuk hasil laut, memborong kerupuk terung dan teripang biasanya hanya dilakukan menjelang Lebaran. Itu karena sudah menjadi tradisi menjamu para tamu dan keluarga.

“Sebetulnya yang namanya kerupuk terung memang tidak ada kaitannya dengan Lebaran. Harganya di musim Lebaran juga lebih mahal dibandingkan hari-hari biasa karena selain tidak musim, permintaan juga tinggi. Tapi rasanya lebih pas aja, kalau dimakan pada momen itu,” kata Sri.

Sekali borong di Pasar Tambak Rejo bisa sampai lima kilogram untuk jenis kerupuk terung, teripang, dan kentang-udang. Biasanya langsung habis tidak sampai dua minggu. Hasil laut biasanya kaya protein. Tapi nilai gizinya secara detil tidak tahu.

“Sebetulnya memang kurang sehat karena prosesnya digoreng pakai minyak, kandungan kolesterolnya jadi tinggi. Tapi ini kan sifatnya camilan tahunan dan tidak dikonsumsi setiap bulan, jadi tidak masalah,” jelas wanita 55 tahun ini.

Berburu camilan kerupuk terung dan teripang menjelang Lebaran sangat mudah. “Di pasar tradisional pasti jual. Tapi kalau mau harga yang agak miring, bisa beli langsung di pusat pengolahannya di daerah Kenjeran. Kalau beli dalam jumlah besar pasti dapat harga lebih murah,” urai Sri Sudiarti.

Omzet Rp 10 Juta/Minggu
Sateni mengungkapkan, untuk mempersiapkan tingginya permintaan menjelang Lebaran, biasanya ia menyetok beberapa ton yang sudah digoreng pasir. Omzet rata-rata per minggu diluar Lebaran di kisaran Rp 5-10 juta. Kalau Lebaran bisa tembus Rp 25 juta.

“Tapi keuntungan bersihnya tidak pernah dihitung karena modalnya diputar lagi buat beli bahan dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar Sateni, yang memulai usaha dengan modal sendiri dengan modal awal sebesar Rp 300.000.

Bukan hanya untuk membeli bahan mentah terung dan teripang basah, tapi juga untuk kebutuhan pasir, kayu bakar dan migor. Untuk pasir dalam seminggu bisa menghabiskan 25 kg (1 sak), sedangkan kayu bakar yang didapat dari kawasan sekitar ITS per minggu bisa dipasok enam becak atau sekitar Rp 200.000.

“Kalau pakai kompor gas hasilnya tidak bagus, karena suhunya kurang panas. Itu sebabnya saya ambil dari pengepul kayu bakar. Mereka ambil ranting-ranting kering atau kayu sisa proyek bangunan, per becaknya Rp 35.000,” katanya.

Prosesnya menggoreng tergantung matahari. Kalau lagi musim hujan maka proses akan mandeg, karena jika diteruskan maka terung tidak bisa mekar bagus. Pernah ditawari pakai alat pengering praktis dari ITS, tapi hasilnya juga jelek.

“Mesin pengering sifatnya tidak sama seperti matahari, keringnya drastis dan dalam waktu cepat sehingga malah mengkerut. Kalau digoreng pasir di bawah terik matahari keringnya bisa pelan-pelan jadi hasil mekarnya bagus,” beber Sateni.

Sampai saat ini, usaha yang dijalani Sateni bersama suami dan dua anak angkatnya belum dilirik oleh perbankan. “Cuma dijanjiin dari dulu. Untungnya saya sendiri punya modal,” kata wanita yang mengawali usaha ini sebagai buruh penggorengan kerupuk terung pada 1986. ame/surya/habibur rokhman

Perintis Keripik Buah Kressh

Mendulang Sukses dari Menjajal Sisa Buah

Mengolah buah dan sayur menjadi keripik yang mungkin mustahil bagi banyak orang, ternyata mampu dilakoninya. Di tangannya, bukan hanya buah apel yang bisa dijadikan keripik, tapi juga buah melon, semangka, salak, durian, bahkan sayuran seperti wortel, labu dan jamur.

Malang, kota yang terkenal sebagai penghasil buah dan sayuran, benar-benar tidak dipandang sebelah mata oleh Kristiawan, 43. Dalam pandangannya, puluhan buah dan sayuran ini bisa diolah menjadi ‘camilan sehat’.

“Semua buah dan sayuran yang bisa langsung dimakan, pasti bisa dibuat keripik,” cetus Kris, panggilan akrabnya, Jumat (11/6).

Tekad mewujudkan keinginannya itu, makin terbuka lebar saat ia bergabung di pabrik pengolahan keripik buah apel, atau selang setahun setelah menamatkan studinya di Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya. “Dari sini, saya belajar proses pengolahan dengan peralatan yang ada di pabrik,” beber Kris.

Meski sempat pindah ke perusahaan sejenis lainnya, keinginannya tak luntur. Bahkan, Kris memanfaatkan sisa bahan yang tidak terpakai sebagai percobaan. “Sisa-sisa buah apel yang masih layak itu saya bawa pulang untuk diolah lagi, di antaranya jenang dan manisan. Ini percobaan saja,” kenangnya.

Upayanya membuahkan hasil. Namun, untuk membuat keripik buah, Kris mengaku belum siap baik peralatan maupun tenaganya. Dengan bermodalkan tabungan sendiri sebesar Rp 5 juta, ia mulai merancang pengolah keripik sendiri.
“Dengan mesin ini, biaya bisa ditekan dan hasilnya lebih berkualitas. Keripik apel terasa tidak keras dan lebih garing,” tutur Kris, yang kemudian memberikan hasil karya mesinnya pada beberapa pengusaha UKM di Malang.
Sebagai gantinya, pengusaha UKM itu menjual keripik apel kepadanya. Melalui standarisasi khusus, produk itu kemudian dikemas dengan merek ‘Kressh’ dan dititipkan ke toko oleh-oleh. Tidak butuh lama, konsumen langsung meminati keripik apel ‘Kressh’. Bukan hanya warga Malang, tapi juga digemari berbagai daerah lain.

Karena tingginya permintaan, sekitar tahun 2004 ia memutuskan ikut memproduksi keripik buah sendiri. Apalagi, melihat peluang pasar keripik apel yang sangat besar. Toh, Kris tak cepat berpuas diri. Setiap tahun, ia mencoba berinovasi dengan memanfaatkan buah lain seperti semangka, melon, salak, bahkan sayur mayur seperti jamur, wortel dan lainnya.

“Buah dan sayur lain pun bisa mencapai kerenyahan yang tidak bisa disamai oleh pesaingnya,” ungkap peraih gelar Pengusaha Mikro Terbaik Jawa Timur tahun 2008, versi salah satu bank pemerintah ini.
Bersama sekitar 40 orang karyawannya, Kris menangani mulai proses pemilahan buah hingga pasar. Sebetulnya, cukup sederhana untuk membuat keripik buah. Buah matang yang sudah dikupas dicuci, dirajang tipis, lalu digoreng menggunakan vacum frying sekitar 1,5 jam.

Dalam proses ini, yang hilang selain air hanya volatil yang mudah menguap. Karena diproses dibawah suhu 80 derajat celcius, membuat gizi, rasa, dan warnanya tak berubah. Untuk menjaga ketahanan produk, ia mengemas produk olahannya dengan aluminium foil.
“Saya berobsesi agar keripik buah ini bisa dibudayakan sebagai makanan sehat untuk anak kecil karena kandungan gizinya,” papar ayah 4 anak ini.

Kini, Kris tak lagi merasakan kesulitan memperoleh pinjaman bank, pengajuannya lebih gampang. Saat itu nilai pinjamannya sekitar Rp 20 juta dari salah satu bank pemerintah.

Soal bahan baku, Kris menggandeng sejumlah pengepul buah dan sayur di Malang, Semarang, Banyuwangi, Yogyakarta, Blitar, hingga Probolinggo. Namun, kondisi panen buah-buahan yang musiman terkadang menjadi kendala. Ini membuatnya kewalahan karena permintaan meningkat.

“Satu-satunya jalan dengan meminjam bank untuk menambah mesin produksi. Saat ini kami memiliki empat mesin dengan kapasitas produksi mencapai 60 kg keripik per hari,” ulas Kris yang juga memproduksi manisan stroberi, salak, dan jambu merah.

Ia juga mendekati sentra-sentra buah, dengan harapan bisa menjaga kestabilan harga buah di pasar. Sekaligus bermitra dengan empat UKM di sentra buah seperti Probolinggo, Lumajang, dan Malang.
Kini, Kris telah menghasilkan sekitar 16 jenis keripik buah dan sayuran yang telah dipasarkan sejumlah daerah di Indonesia, bahkan beberapa agen di Batam mengirimkan ke Singapura. Omzet penjualannya bisa mencapai Rp 1 miliar dalam satu tahun.

Meski begitu, ia tak puas sampai di situ. Menurut Kris, masih banyak jenis buah yang masih bisa diproduksi. Kris berencana mengembangkan bisnis, seperti keripik berbahan rumput laut, selain menghasilkan manisan buah basah dari beragam buah seperti apel, nanas, dan mangga.
“Saya juga berencana menciptakan permen coklat isi buah,” ujar pria yang pernah menjadi dosen di Universitas Tribuana Tungga Dewi, Malang ini.

DIDIK SUTRISNO
Surabaya

Total Tayangan Halaman

Entri Populer

Translate