Ramadan, Saat Panen Perlengkapan Ibadah

Jumat, 27 Agustus 2010


Bulan Ramadan selalu menjadi masa panen bagi para pelaku usaha. Bisnis apapun yang berkaitan dengan aktivitas Lebaran pasti laris manis tanjung kimpul, jualan abis dapur pun ngebul. Bisnis pakaian, jilbab, mukena, peci, sarung, tas, sepatu, makanan minuman (mamin), emas, telekomunikasi hingga elektronika.
Ramadan menjadi berkah bagi siapa saja. Bagi Andreswari, menghilangkan tradisi berbelanja produk-produk tertentu menjelang Lebaran rasanya sulit.

“Tradisi itu sudah bertahun-tahun. Kalau mau Lebaran ya pasti belanja mukena, sarung dan mamin,” ujar lajang 29 tahun yang bekerja di salah satu perusahaan media ini.

Barang serba baru dianggap menjadi lebih afdol mengiringi Lebaran, yang diisyaratkan sebagai hari lahirnya manusia baru setelah sebulan menahan nafsu dan dosa. “Belanja mukena, sarung dan peci baru ini untuk dibagikan ke tetangga-tetangga yang kurang mampu dan ada yang dipakai pribadi. Sementara mukena lama ada yang dihibahkan,” katanya.

Untuk mendapatkan harga paling menarik biasanya ia rela hunting dua minggu sebelum Lebaran ke beberapa pasar, seperti Pasar Atom, Darmo Trade Center (DTC), Pusat Grosir Surabaya (PGS) hingga ITC.
“Belinya nggak banyak, paling-paling 10-15 unit untuk masing-masing barang. Itung-itung ingin berbagi kebahagiaan dengan tetangga sekitar. Kalau untuk keponakan dan saudara-saudara lain lagi bentuknya,” tutur Andreswari.

Farida Chusna, perajin dan pedagang grosir mukena dan baju muslim di DTC mengaku, permintaan barang di Bulan Ramadan selalu mengalami kenaikan yang signifikan.
“Order sampai bikin kita kewalahan. Misalnya mukena, biasanya sebulan laku 2-3 kodi, sekarang sampai 20 kodi. Produksi saya hanya mampu lima kodi. Jadi, sisanya terpaksa ambil dari produksi orang lain,” jelas wanita 48 tahun ini.

Farida memroduksi sendiri mukena anak maupun dewasa di rumahnya di kawasan Gunungsari Indah B-2 Surabaya. Jumlah karyawan alias penjahit dan pemotong kain dulu mencapai 22 orang. Namun sekarang tinggal dua orang karena lainnya adalah karyawan lepasan.
“Awal 2000 membuka usaha, saya memroduksi mukena sekaligus sajadah anak dan baju anak. Saya jahit sendiri. Tapi lama-lama barang dagangan saya berkembang hingga sekarang punya dua outlet di DTC,” ujarnya sumringah.

Mukena unggulannya terletak pada bordir dan jenis kain. “Untuk bordiran motifnya khas, kainnya menggunakan sutra halus,” kata Farida. Untuk mukena plus sajadah anak dijual kisaran Rp 100.000, sedang mukena dewasa antara Rp 200.000-Rp 300.000.
Tak hanya menjual pakaian muslim dan pernak-pernik Islami, istri Syaiful Karim ini juga menjual perlengkapan ibadah haji. Dalam sebulan, ibu tiga anak ini bisa meraup omzet sampai Rp 100 juta menjelang Lebaran. Kalau kondisi biasa hanya Rp 50-70 juta per bulannya.

Sajadah Aplikasi

Lain lagi yang ditekuni Marina Kusmartini, perajin sajadah aplikasi etnik ini. Ketertarikannya membuat sajadah itu semula hanya keinginannya untuk menumbuhkan kemauan anak-anak sedari dini dalam menjalankan ibadah shalat lima waktu.
“Caranya, ya dengan media sajadah aplikasi ini. Dengan pola-pola yang menarik dan warna-warna yang atraktif di atas kain blacu, diharapkan bisa merangsang anak untuk rajin mengerjakan shalat,” urai Marina, 44, memulai perbincangannya.

Ia mengaku, semuanya diawali dengan coba-coba dan hanya bermodalkan Rp 500.000 dari uang tabungan. Ternyata, hasil kreasinya yang pengerjaannya dibantu beberapa tetangga di kawasan Wisma Penjaringansari, Rungkut itu, diminati banyak kalangan.
Bukan hanya kaum ibu-ibu yang ingin agar anaknya lebih rajin shalat, tetapi juga konsumen yang gemar dengan sajadah etnik. Yaitu sajadah yang terbuat dari bahan katun blacu dan kain tenun, dikombinasi kain flannel yang bertekstur lembut atau kain perca.

“Mereka memilih kain katun atau tenun karena alergi dengan sajadah pada umumnya,” jelas ibu dua putri yang bersuamikan Iwan Lukito, PNS di Kabupaten Gresik ini.
Rina panggilan akrabnya mengaku, tidak mematok target khusus dalam pengerjaan karyanya selama sebulan. Ini mengingat semua sajadah sulam aplikasi kreasinya yang dijual kisaran Rp 70.000 (kain blacu) hingga Rp 75.000 (kain tenun) merupakan buatan tangan.

“Semua saya kerjakan sendiri, mulai membuat pola, memotong bahan-bahan hingga menempatkan pada kain blacu yang sudah diberi spon. Untuk sulam aplikasinya, baru dibantu beberapa tetangga. Nanti finishing, saya lagi yang tangani. Jadi, memang tidak bisa dibuat terburu-buru khawatir malah jadinya kurang bagus,” urai Rina.

Karena itu, menurut dia, sajadah aplikasinya terbilang eksklusif. Pasalnya, antara sajadah satu dengan yang lain tidak satu pun dengan pola yang sama. Biasanya pola mesjid tetap ada, dikombinasi dengan gambar aneka bunga, pohon, kupu-kupu, awan, kereta api atau mobil.
Untuk saat ini, pemasarannya baru sebatas gethok tular antarteman atau kerja sama dengan Tabina Konveksi yang memasarkan hingga ke Jakarta. Meski masih terbatas, ia seringkali merasa kewalahan dengan pesanan yang datang.

Kini, dalam seminggu setidaknya ia mampu merampungkan 10 sajadah cantik beragam pola. Mau tidak mau, ia juga harus mulai menambah tenaga untuk menggarap sulam aplikasi yang diambil dari kalangan penderita tuna daksa.
“Dalam waktu dekat, saya berencana memasarkan hasil kreasi sajadah etnik cantik ini lewat internet,” ujar Rina, yang mengaku belum berniat mencari pinjaman untuk pengembangan usahanya ke bank. ame/tdr

0 komentar:

Total Tayangan Halaman

Entri Populer

Translate