Dari Mana dan Ke Mana Harta Kita?

Senin, 09 Agustus 2010

Oleh Gede H. Cahyana

Adakah orang yang tak perlu harta? Jangankan kita yang hidup pada zaman supramodern ini, pada zaman nabi Muhammad saja orang-orang begitu giat berdagang. Ada yang merantau sampai ke Cina, malah. Tentu mereka juga menyinggahi negeri-negeri di antara Arab dan Cina, yaitu Asia Tengah. Apa tujuan mereka berdagang? Dapat uang! Dengan uang, mereka bisa membeli kebutuhan yang tak dimilikinya. Seorang tukang tenun akan membutuhkan dan membeli makanan ke penjual makanan. Begitu sebaliknya. Artinya, sejak zaman dulu posisi uang begitu tinggi. Sebelum ada uang mereka tukar-tukaran barang atau barter. Bahkan Nabi Muhammad pun berdagang yang hasilnya digunakan sebagai mahar ketika menikahi Khadijah. Ujudnya, 100 ekor unta. Bukan main, kaya sekali beliau.

Bagaimana kita? Dengan cepat bisa dijawab, kita sangat perlu harta. Bisa berupa uang, tanah, rumah atau kendaraan. Banyak lagi jenis-jenis harta lainnya. Tapi umumnya kita mencari uang dulu sebagai alat tukar lalu membeli benda apapun keinginan atau kebutuhan kita. Untuk mencarinya perlu pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan juga harta. Istilahnya, orang bisa habis-habisan dalam mengejar harta. Rambu-rambu halal pun sering dilanggar dan malah menganggap zaman sekarang sudah tak perlu lagi berpikir halal-haram. Yang haram saja sulit didapat apalagi yang halal, begitu ujaran yang terdengar. Betulkah demikian?

Sumber harta, menurut Prof. Dr. Hamka, ada dua macam. Yang pertama, harta dari hasil kerja sendiri. Yang kedua dari pemberian orang lain, warisan atau hadiah yang tak disangka-sangka. Harta yang didapat dari hasil kerja sendiri masih dibagi menjadi dua lagi yaitu, harta halal dan harta haram. Andaikata sudah jelas bahwa harta itu halal, maka ambillah. Sebaliknya, kalau jelas harta itu haram, jauhilah. Jangan sekali-kali didekati sebelum menjadi terbiasa, apalagi sampai ketagihan. Sebab, kalau tidak dicegah maka kebiasaan itu akan mendarah daging dan sangat sulit ditinggalkan. Banyak orang terjerat seperti ini. Malah lingkungan kerjanya langsung membencinya kalau ingin tobat dan keluar dari lingkaran setan.

Yang jadi masalah adalah ketika harta itu dalam status, menurut pandangan kita, "pertengahan" alias ragu-ragu atau syubhat. Kalau demikian, sebaiknya juga ditinggalkan. Namun, prinsip dasarnya, jika sulit diputuskan apakah diambil atau tidak maka caranya dengan berpatokan pada yang paling sedikit haramnya dan paling banyak halalnya. Yang jadi acuan adalah hati kita, nurani kita. Sebab, nurani atau mata hati pasti tak bisa bohong. Hati harus bersih dan caranya adalah dengan dekat kepada Allah.

Setelah sumber harta itu bersih, selanjutnya jagalah ke mana saja dibelanjakan. Barang-barang yang dibeli hendaklah yang jelas-jelas halal zatnya. Jangan membeli dan menjual barang haram zatnya seperti minuman keras, narkotika, obat-obatan terlarang. Pendeknya, janganlah harta yang diperoleh dengan halal itu dibelikan sesuatu yang mengundang dan mengandung mudarat. Dibelikan televisi, kulkas, radio, HP, rumah, mobil, sepeda, dll. tentu sah-sah saja. Kalau memang butuh dua televisi, lalu membeli tiga maka yang satunya mubazir. Apalagi barang-barang yang dibeli itu sekadar untuk pamer gagah-gagahan. Inilah salah satu penggunaan harta yang menyimpang dari hakikat harta.

Yang wajib diingat, keluarkanlah zakat dari harta yang diperoleh. Sekecil apapun harta yang didapat, sisihkan paling sedikit 2,5 % untuk zakat. Kini sudah banyak lembaga amil zakat sehingga tak sulit lagi menitipkan zakat. Bisa juga diberikan langsung untuk memakmurkan masjid. Dan tak harus semata-mata untuk pembangunan fisik masjid. Bisa juga untuk perangkat lunak (software) masjid seperti buku-buku dan teknologi informasi. Zakat boleh saja dibelikan perangkat komputer (hardware) yang dilengkapi software penunjang kegiatan masjid.

Kita bisa membeli alat-alat presentasi untuk masjid seperti Overhead Projector (OHP) atau proyektor semacam Infocus yang lebih canggih lagi. Semuanya bisa digunakan untuk pengajian rutin ataupun untuk sarana belajar bagi santri masjid bersangkutan. Zakat juga bisa digunakan untuk memperkaya khazanah perpustakaan masjid. Tak harus mushaf Qur'an saja yang dibeli, tapi boleh saja membeli kaset, CD dan lain-lain yang berisi ilmu pengetahuan. Juga bisa membeli buku-buku yang mendukung keilmuan jamaah masjid dan santri termasuk sewa internet. Situs-situs kaya manfaat banyak bertebaran dan ini pun sumber ilmu.

Lebih dari semua itu, agar mampu berzakat dan membantu kegiatan masjid maka kita perlu harta. Selain ibadah ritual (mahdhah) kita pun wajib ibadah ghair mahdhah seperti bekerja. Mari simak firman Allah dalam surat Qashash ayat 77. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Semoga kita menjadi orang-orang yang mampu mencari harta secara halal dan membelanjakannya di jalan Allah. Aamiin.

Gede H. Cahyana, "muallaf" yang menulis buku "Mencari Allah. Dari Kuta Bali Ke Salman ITB".

0 komentar:

Total Tayangan Halaman

Entri Populer

Translate

Blog Archive