Guru Mengajar, Murid Menulis

Senin, 09 Agustus 2010

Oleh Gede H. Cahyana

Guru mengajar, bukanlah berita. Guru menulis, itu baru berita! Guru rajin mengajar dan terus mengajar tidaklah aneh. Guru yang membaca dan terus membaca, apalagi berganti dari satu buku ke buku lainnya, ini yang agak aneh. Sebab, banyak guru hanya membaca satu-dua buku. Itu pun buku-buku yang menjadi bahan ajarnya. Jarang ia membaca buku selain buku yang menjadi bahan ajarnya.

Betulkah guru malas membaca? Jika dijawab betul dan menganggap semuanya malas membaca pastilah keliru. Tak bisa semuanya disamakan seperti itu. Ada guru yang betul-betul gemar membaca. Dia membaca semua buku, tak hanya yang menjadi bahan ajarnya. Malah rutin membaca koran, sesekali membeli majalah. Buku yang dibacanya pun tak hanya buku baru yang relatif mahal harganya, tapi juga membaca buku second yang dibelinya di pasar buku murah. Namun, jarang memang guru yang seperti ini. Jarang sekali.

Guru pesuka buku, terlebih lagi kutu buku, atau pelahap buku, jumlahnya sedikit. Berapa pastinya sulit diketahui karena subjektif. Kelompok pesuka buku ini secara ekonomi mau menyisihkan uang gajinya untuk memuaskan dahaga akalnya. Gajinya tak berbeda dengan guru-guru lainnya yang malas membaca. Bedanya, dia rela memotong gajinya untuk makanan ruhaninya. Selain itu, dia juga berupaya mendapatkan uang halal dari sumber-sumber lain, tak hanya mengandalkan gajinya. Bisa lewat warung kelontong, membuat wartel, atau berkirim artikel ke media massa. Guru yang demikian pantaslah menjadi motor masyarakat-baca, minimal di hadapan murid-muridnya.

Guru menulis?
Jika membaca saja malas, mungkinkah seorang guru mampu menulis? Mampukah menghasilkan tulisan, minimal artikel yang terkait dengan bidang ilmunya? Yang lebih tinggi lagi, menghasilkan buku yang bisa menambah wawasan-baca publiknya, khususnya murid-muridnya. Mari diam-diam dideteksi apakah guru kita mampu menulis artikel di koran, majalah, tabloid kelas rendah, kelas sedang sampai kelas atas. Setiap sekolah bisa memantau apakah ada gurunya yang menulis artikel di media massa. Adakah yang sudah menulis buku umum atau buku pelajaran di vak yang ditekuninya bertahun-tahun? Berapa orang yang demikian?

Guru yang menulis itu perlu dihargai lewat hadiah, apapun ujudnya, yang penting bernilai tinggi secara intelektual dan finansial. Pemerintah, baik pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) maupun pemerintah pusat hendaklah menganugerahkan nilai tinggi untuk setiap artikel yang ditulisnya. Apalagi kalau ditulis di koran beroplah banyak dan berkualitas tinggi. Masyarakat sudah tahu mana saja koran yang sangat selektif dalam menerbitkan artikel. Menghargai karya ilmiah atau ilmiah populer dengan nilai tinggi berarti meninggikan posisi menulis di atas membaca yang lantas diharapkan mampu membiasakan guru bersaing antarguru lewat menulis. Juga mampu mengangkat namanya di antara koleganya sekaligus mengantarkan nama sekolahnya ke seluruh penjuru daerah.

Begitu pun yang layak menjadi kepala sekolah, apalagi memegang jabatan di Dinas Pendidikan, haruslah yang prestatif dalam dunia tulis-menulis. Pertimbangkanlah kuantitasnya dan bagaimana kualitas karya tulisnya. Lebih bagus lagi kalau mampu menghasilkan buku yang diakui Ditjen Dikdasmen, mengusung Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bukan sekadar menulis LKS yang jika ditilik hanya berkutat dan berputar-putar dari itu ke itu saja. Murid menjadi malas menjelajahi dunia ilmu, tak bereksplorasi dan terus bergelut dengan hafalan di LKS. Nilai raportnya identik dengan LKS. Bahkan murid hanya menghafal jawabnya saja, tanpa perlu membaca soalnya. Hafal di luar kepala! Ini betul-betul terjadi, bukan isapan jempol. Inilah salah satu fenomena remaja kita akibat dunia sekolah yang tak bergairah, tak kompetitif dalam keilmuan.

Muridnya penulis
Lain ladang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya. Begitu pun, lain guru lain muridnya. Ketika guru malas membaca, tak mampu menulis, muridnya justru ada yang rajin menulis. Tidakkah ini luar biasa? Sering saya lihat murid-murid menulis di koran dan majalah. Tulisannya profesional, enak dibaca, mengalir lancar. Isinya tak kalah hebat, begitu mendalam, sampai masuk ke wilayah transenden sehingga menjadi cermin diri bagi pembacanya, menyulut semangat hidupnya. Bertanya-tanyalah saya, bagaimana gurunya, menuliskah mereka?

Saya juga kagum menyaksikan anak-anak SD yang mampu menulis novel. Bukan satu novel yang ditulisnya, melainkan sudah nyaris sama dengan jumlah jari tangannya. Sebaliknya gurunya tak menulis satu pun artikel pendek di koran, apatah lagi buku ratusan halaman. Tidakkah ini menggembirakan? Atau menyedihkan jika dilihat dari sudut pandang gurunya? Bayangkan, seorang guru yang ingin naik pangkat dan harus menulis karya ilmiah tapi karya tulisnya itu dibuat oleh orang lain. Bayarannya bervariasi, bergantung pada negosiasi. Juga terjadi, seorang guru (juga dosen) membayar sejumlah uang agar karya tulisnya dimuat di jurnal (jurnal-jurnalan). Yang juga nakal, ada guru (juga dosen) yang membayarkan sejumlah uang agar tulisannya dimuat di media massa.

Kembali ke soal murid menulis. Perlu terus "dipanas-panasi" agar murid mau terus menulis. Apabila sekarang sudah mampu menulis bagus, sekian tahun kemudian, jika mereka menjadi guru niscaya pengalamannya akan dibagikan kepada murid-muridnya. Merekalah yang lebih cocok menjadi pengganti guru-guru yang tak jua mampu menulis. Itu sebabnya, dalam rekrutmen guru selayaknya kemampuan menulis menjadi materi ujian utama. Prestasi adalah tolok-ukurnya. Ini penting agar guru jangan hanya tenggelam dalam rutinitas: datang, absen, mengajar, istirahat, mengajar lagi, lalu ngobrol dan pulang. Yang begini tak bakal mampu mentradisikan budaya baca-tulis di sekolah, apalagi di masyarakat. Lebih parah lagi adalah oknum guru dan kepala sekolah, termasuk pejabat di Dinas Pendidikan yang hanya melihat uang. Buku adalah uang. Buku adalah tender projek sehingga kasak-kusuk dengan penerbit pun sudah mendarah daging.

Kalau mengajar adalah tugas mulia, maka menulis pasti jauh lebih mulia. Menulis adalah menyebarkan ilmu. Lewat tulisan, guru mengajar orang yang membaca tulisannya dan "abadi" sepanjang masa selama tulisan itu tak dimusnahkan. Ia pun tak hanya mengajar murid di kelasnya, tapi juga semua pembacanya. Tulisan, baik artikel maupun buku, adalah warisan guru yang paling berharga. Berlombalah dalam menulis, wahai guru... agar kecakapan dan keilmuan yang dimiliki dapat digugu dan ditiru para murid sehingga mereka ikut-ikutan rajin membaca dan mencoba menulis. Sekali lagi, menulis dan menulislah! *

Gede H. Cahyana, penulis buku "Mencari Allah. Dari Kuta Bali Ke Salman ITB" dan "PDAM Bangkrut? Awas Perang Air".

Trims buat kru Aksara Salman ITB yang telah membedah buku Mencari Allah pada Kamis, 16 Februari 2006 kemarin.

0 komentar:

Total Tayangan Halaman

Entri Populer

Translate

Blog Archive